"Pertarungan caleg ditarik dari percakapan rakyat menjadi percakapan elite partai. Dia mengibaratkan, rakyat seperti dipaksa membeli kucing di dalam karung, karena caleg yang dinginkan rakyat nyatanya tidak terpilih dan dikalahkan oleh caleg pilihan partai,” jelas dia.
Arifki percaya, perdebatan sistem proporsional tertutup atau terbuka tidak bisa diartikan sebagai upaya memperkuat partai politik jika dibandingkan rendahnya kualitas caleg produktif dalam sistem pemilihan terbuka.
Selain itu, sambung dia, perubahan sistem pemilu yang disinyalir sebagai alasan untuk mengantisipasi politik uang tidak juga ada jaminan sistem tertutup menihilkan hal tersebut.
"Sistem tertutup tidak menjamin politik uang ada di level elite dalam memperebutkan nomor urut dan penentuan legislator terpilih. Justru keadilan terhadap caleg bakal rendah jika sistem proporsional tertutup dipaksakan begitu saja," yakin dia.
Artinya, jika tidak ada mekanisme penentuan yang benar dalam pembagian nomor urut kepada caleg, maka partai politik yang tidak memiliki “brand party” kuat bakal berhadapan dengan caleg pemalas.
"Hal ini karena lemahnya keterkaitan caleg dengan kelembagaan partai," dia menutup.***