Orangtua Perokok Tingkatkan Risiko Stunting pada Anak!

- 15 Februari 2023, 06:00 WIB
Ilustrasi puntung rokok.
Ilustrasi puntung rokok. /Pixabay/geralt/

Okeflores. com - Hasil riset Universitas Indonesia menunjukkan ‎anak dari orangtua yang merokok cenderung mengalami stunting atau gangguan pertumbuhan karena kurang gizi. Kajian kampus tersebut juga memperlihatkan polusi udara membuat rata-rata individu di Indonesia mengalami kehilangan 1,2 tahun usia harapan hidup‎.

Hasil penelitian‎ oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia terkait rokok berdampak pada lahirnya keputusan pemerintah menetapkan kenaikan cukai rokok 10 hingga 15 persen pada awal 2023. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191 Tahun 2022 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot dan Tembakau Iris.

Salah satu respons yang viral belum lama ini muncul dari akun Twitter‎ @bfndrk yang setuju atas kenaikan cukai rokok. Tweet-nya yang mencantumkan tangkapan layar penelitian FEB UI tersebut memperoleh 20 ribu likes dan 6.900 retweet.

Ketua peneliti dalam riset tersebut, Teguh Dartanto, Ph.D‎ mengaku bangga karena penelitiannya tidak hanya diakomodasi oleh masyarakat yang viral di Twitter. Lebih dari itu, riset juga diadopsi sebagai sebuah kebijakan berupa kenaikan cukai rokok.

"Kami di FEB UI memang ekonom pertama yang eksplor isu seperti ini (hubungan rokok dengan stunting). Selama ini rokok itu selalu (dihubungkan) dengan isu kesehatan saja,” ujar Teguh dalam Webinar Komunitas SEVIMA akhir Januari 2023.‎ Teguh menjelaskan, hubungan rokok dengan stunting bermula dari bagaimana perokok membelanjakan uang di keluarganya. Kepala keluarga yang merokok, memprioritaskan uangnya guna belanja rokok dibandingkan bagi kesejahteraan keluarga. Bahkan bantuan sosial pemerintah ternyata digunakan juga untuk merokok.

“Penelitian ini kami lakukan dengan mengikuti 7.000 lebih data orang tua dan anak selama puluhan tahun yang diperoleh dari Indonesia Family Life Survey 2018, ditambah dengan penelitian langsung yang kami lakukan di Demak Jawa Tengah. Dari situlah kami mendapati bahwa orang tua yang merokok, cenderung anaknya stunting,” ujar Teguh.

Tidak hanya uang pribadi dan uang pemerintah yang dibakar para perokok, masa depan anak bahkan sejak ia belum lahir berpotensi ikut dibakar. Selain masalah gizi akibat memprioritaskan membeli rokok ketimbang makanan bagi keluarga, perokok juga mengekspos ibu hamil sebagai perokok pasif.

“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saat turun langsung meneliti di Demak, saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya," ucapnya. Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? "Karena rokok mengandung zat adiktif,” kata Teguh. Hasil penelitian bersama tim FEB UI tersebut juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.

Teguh berharap, masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Ketika harga rokok semakin mahal, keinginan seseorang membelinya pun hilang. Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak. Khususnya penerima bantuan pemerintah (Program Keluarga Harapan/PKH), seluruh penerimanya telah menandatangani klausul bantuan sosial itu tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap, sumber daya yang diberikan pemerintah bagi masyarakat kurang mampu tersebut digunakan membeli rokok.

“Bahkan ketika anak tumbuh dewasa, daripada untuk anaknya sekolah, uang malah digunakan untuk beli rokok. Saat turun langsung meneliti di Demak, saya terenyuh sekali melihat kondisi anak-anak yang mengalami stunting hanya karena keputusan orang tua yang tidak rasional memikirkan diri sendiri dibandingkan anaknya," ucapnya. Kenapa bisa ada orang yang tidak rasional seperti itu? "Karena rokok mengandung zat adiktif,” kata Teguh. Hasil penelitian bersama tim FEB UI tersebut juga telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional terkemuka.

Teguh berharap, masyarakat luas dapat memahami filosofi kenapa cukai rokok perlu dinaikkan. Ketika harga rokok semakin mahal, keinginan seseorang membelinya pun hilang. Selain itu, ia juga berpesan kepada masyarakat untuk memprioritaskan gizi dan pendidikan anak. Khususnya penerima bantuan pemerintah (Program Keluarga Harapan/PKH), seluruh penerimanya telah menandatangani klausul bantuan sosial itu tidak boleh digunakan untuk merokok. Ia berharap, sumber daya yang diberikan pemerintah bagi masyarakat kurang mampu tersebut digunakan membeli rokok.

Baca Juga: Dilema Larangan Jual Rokok Batangan: Antara Kesehatan Rakyat dan Nasib Pedagang-Pengusaha

“Daripada duit dibakar dan mahal juga, lebih baik berhenti merokok saja, itulah tujuan utamanya dari kenaikan cukai. Penelitian kita juga menunjukkan, masih ada perokok yang rasional, artinya ketika rokok mahal, ada yang berhenti dan ada yang mengurangi rokoknya sehingga tujuan akhirnya akan tercapai, yakni cukai akan mengurangi stunting,” ujar Tegu‎h.

Hasil kajian lain terkait kualitas udara disampaikan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) saat dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Sabtu (11/2/2023), di Aula IMERI, FKUI, Salemba, Jakarta. Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Agus yang juga merupakan Direktur Utama RS Persahabatan menyampaikan peningkatan aktivitas industri dan transportasi membawa ancaman bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Hal itu disebabkan oleh pencemaran dan polusi udara yang dihasilkan.

Polusi udara berkontribusi terhadap sekitar 11,65 persen kematian secara global dan merupakan salah satu faktor risiko beban penyakit. Polusi tersebut tidak hanya mengambil tahun kehidupan seseorang, melainkan juga turut berdampak pada kualitas kehidupan seseorang. Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara, di antaranya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis (TB), asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru dan fibrosis paru.

“Akibat pajanan polusi udara, rata-rata individu di Indonesia mengalami kehilangan 1,2 tahun usia harapan hidup dikarenakan kualitas udara di Indonesia gagal memenuhi kriteria konsentrasi PM2,5 yang ditetapkan oleh WHO. Penduduk di kota besar seperti Jakarta dapat kehilangan sekitar 2,3 tahun usia harapan hidup apabila terpajan dengan level polusi udara yang sama secara terus menerus,” ujar Agus.

Sebagai sistem yang berinteraksi langsung dengan udara dari luar ruangan, sistem respirasi sangat rentan terhadap polusi yang terkandung dalam udara. Polutan dapat mengiritasi saluran napas, memicu inflamasi dan stress oksidatif di saluran pernapasan. Dampak polusi udara tehadap kesehatan respirasi dapat berupa dampak akut maupun dampak kronik. Ia merekomendasikan kepada pihak terkait, di antaranya adalah masyarakat, pelaku industri, pemerintah, dan dokter agar bersa ikut serta berkontribusi pada pengendalian kualitas udara.

“Masyarakat dapat memulai dengan beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum atau kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Masyarakat saat ini juga bisa menghindari kegiatan di luar ruangan saat polusi udara sedang tinggi dengan memantau kualitas udara real-time dengan aplikasi (misal aplikasi AirVisual dari IQAir) yang bisa diunduh di smartphone,” ujarnya.

Ia menambahkan, masyarakat disarankan menggunakan masker sesuai standar bila beraktivitas di luar ruangan saat kualitas udara tidak sehat. Pelaku industri dapat menurunkan kadar polusi dengan melakukan kajian dampak lingkungan dari aktivitas industri yang dilakukan. Institusi pendidikan dan pemerintah juga perlu melakukan riset dan inovasi yang mendorong energi terbarukan termasuk mendorong pendirian pembangkit listrik tenaga alternatif.***

Editor: Sastriana Jedaun


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah