GJ dan BAM Masuk Penjara Kasus Pengadan Lahan Terminal Kembur di NTT, Peneliti: Kasus Setingan

- 10 Juni 2023, 22:13 WIB
Foto:Peneliti Lembaga Alpha Research Database Jakarta, Ferdy Hasiman
Foto:Peneliti Lembaga Alpha Research Database Jakarta, Ferdy Hasiman /

Menurut Ferdy, Kepala Dinas Perhubungan Manggarai Timur saat itu menjabat yang harus bertanggung jawab atas kasus ini.

"Menurut saya Kepala Dinas yang harus bertangung jawab. Siapa saja yang kepala dinas pada saat itu. Tidak mungkin staf itu yang inisyatif untuk membeli lahan yang nota bene untuk membangun terminal, pasti ini melibatkan sebuah perencanaan yang matang dari atasan sampai di bawah. Pembelian tanah juga pasti atas sepengetahuan atasan," ungkapnya.

Menurut Ferdy, persoalan ini muncul lantas tahun 2015 masalah terminalnya terbengkelai, aktor intelektual dibalik ini dia mau mengelak.

Dikatakan Ferdy, mungkin ada orang yang lobi sana sini dan dia mau coba untuk meletakan kasus ini bahwa yang bermasalah adalah bapak Gregorius. Ini kan aktor intelek tual kita harus dapat. Jadi ini kerja mafia, bahkan dalam kasus ini ada mafia terstruktur dalam penegakan hukum.

"Mereka mencoba untuk menseting bahwa jaksa nanti hanya menuntut orang orang yang istilah bapak Gregorius ini orang kecil lah, mereka tidak punya kuasa untuk melawan, tidak punya kuasa juga untuk melobi. Lalu pertanyaan saya, pertama,  kasus yang 3,6 miliar yang sudah teliti tahun 2015 di hilangkan? Lalu yang kedua, orang yang membuat perencanaan atas tanah itu tidak bertanggung jawab?" tanya Ferdy lagi.

Menurut Ferdy, ada setingan kasus pengadaan lahan terminal Kembur.

"Setingan begini, kenapa kejaksaan tidak menelusuri lebih jauh soal aktor intelektual dibalik perencanaan pembelian tanah, apakah ini hanya staf, tidak mungkin staf itu punya otoritas penuh untuk membeli tanah, tidak mungkin, karena dari sini akan dikeluarkan anggaran, uang negara, itu harus bertanggungjawab itu adalah atasannya," ungkap Ferdy.

Ferdy menjelaskan, kepemilikan lahan orang manggarai itu orang suda tau semua, yang disebut dengan tanah adat itu tidak tertulis, tua golo dan tua teno (tokoh adat) itu tidak perna menulis bahwa dalam hukum-hukum adat itu segini kau punya itu (tanah), sertifikat itu administrasi yang dibuat oleh birokrasi moderen.

"Kita punya tanah di kampung kampung tidak bersertifikat zaman dulu, karena di tunjuk berdasarkan wewenang otoritatif dari tua teno dan tua golo di kampung kampung, munculnya sertifikat itu karena ada hukum birokrasi moderen, makanya tanah itu harus bersertifikat," terang dia.

Dikatakan Ferdy, Kejaksaan mengabaikan bahwa proses pemberian tanah hak ulayat orang Manggarai tidak melalui hukum positif yang seperti sekarang, sebenarnya masih ada hukum adat seperti hak ulayat yang di akui dalam hukum positif.

Halaman:

Editor: Paulus Adekantari


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x