Sebarkan SPT Wajib Pajak yang Seharusnya Rahasia Berikut Penggunaan NIK sebagai NPWP

- 28 Juni 2023, 12:08 WIB
Ilustrasi NIK sebagai NPWP
Ilustrasi NIK sebagai NPWP /

OKEFLORES.com - Penggunaan Nomor Identitas Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat menimbulkan potensi permasalahan berupa tersebar luasnya Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak yang seharusnya bersifat rahasia.

Sebagai bentuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Penyatuan Peraturan Perpajakan, telah dilakukan integrasi penggunaan NIK sebagai NPWP.

Tujuan integrasi ini adalah untuk memudahkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memantau masyarakat yang memenuhi kriteria sebagai wajib pajak.

Baca Juga: Tindak Pidana Korupsi yang Ditangani KPK, Koruptor Terbanyak Oknum Anggota DPR dan DPRD

Meskipun demikian, penggunaan NIK sebagai NPWP dapat memunculkan masalah terkait penyebaran SPT wajib pajak.

Dasar hukum penggunaan NIK adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

NIK tersebut digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan pengaturan dokumen dan data kependudukan demi kepentingan pelayanan publik, sementara NUWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai identitas untuk menjalankan hak dan kewajiban pajaknya.

“Jadi kalau NIK ini berbicara tentang data kependudukan dan kewarganegaraan, sedangkan NPWP berbicara tentang data finansial,” kata Hadi Poernomo, Ketua BPK RI periode 2009-2014 saat berbicara dalam webinar bertajuk Menuju Single Identification Number: Penggunaan NIK sebagai NPWP Cukupkah? dalam keterangan tertulisnya melansir Pikiran-Rakyat.com, Rabu 28 Juni 2023.

Terdapat jurang perbedaan yang cukup besar antara data kependudukan dan kewarganegaraan dengan data finansial.

"Selain fungsi, ada kontradiksi antara peraturan yang mengikat NIK dan NPWP tersebut,” ucap Hadi.

Dalam Pasal 34 Undang Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) ditegaskan, SPT Tahunan dilarang untuk disebarluaskan baik oleh pejabat yang berwenang maupun oleh tenaga ahli.

“Sedangkan dalam Pasal 44E Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), mengindikasikan bahwa data yang bersifat rahasia tersebut diduga dapat tersebar luas kepada pihak di luar DJP,” tutur Hadi.

Integrasi data NIK dan NPWP memperjelas adanya permasalahan data yang sebenarnya telah diselesaikan dengan Bank Data Perpajakan melalui Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang KUP.

Pasal 35A itu mengatur pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga, asosiasi, serta pihak-pihak lain wajib memberikan data dan informasi tentang perpajakan ke DJP.

“Namun, peraturan ini sepertinya tidak dimanfaatkan padahal data dalam Bank Data Perpajakan jauh lebih lengkap daripada mengintegrasi NIK dengan NPWP,” lanjut Hadi.

Dengan Bank Data Perpajakan (Single Identity Number atau SIN), Pemerintah seharusnya tidak lagi berkeluh kesah mengenai kekurangan data wajib pajak dan tax coverage.

Hal tersebut disebabkan semua pekerjaan itu dapat dilakukan oleh Bank Data Perpajakan dengan metode link and match.

“SIN bukan hanya sekadar reformasi administrasi, tapi transformasi administrasi untuk mewujudkan kemandirian fiskal,” ujar Hadi.

Sementara itu, Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si mengatakan, administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan perpajakan.

Pasalnya, kebijakan perpajakan yang baik jika tidak didukung dengan administrasi perpajakan yang baik, akan menyebabkan masalah.

Masalah itu bukan hanya aspek teknis, melainkan juga aspek yang lebih substantif yaitu bagaimana pajak menjadi darah negara yang membuat negara bisa hidup, sehat, guna memakmurkan rakyat adil dan merata.

“Kebijakan integrasi NIK dan NPWP ini lemah dalam metodologi kebijakan karena riset kebijakan yang terabaikan. Kebijakan perpajakan yang sebenarnya memiliki arti yang lebih luas dari sekadar mengganti NPWP menjadi NIK atau menggunakan NIK sebagai NPWP,” kata Prof. Haula.

Undang-undang mengamanatkan perwujudan Single Identity Number untuk membangun sistem perpajakan yang lebih baik untuk menjamin kemandirian fiskal.

Karena pajak adalah darah negara dan berbagai negara sudah mengarah pada kebijakan bank data perpajakan atau SIN.

“SIN ini bisa jadi instrumen administrasi untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” lanjut Prof. Haula pada webinar yang berlangsung beberapa waktu lalu dan digelar oleh Klaster Riset Politics of Taxation, Welfare and National Resilience (POLTAX) Universitas Indonesia.***

Editor: Adrianus T. Jaya

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah