Sementara itu, MK berpendapat bahwa permintaan pemohon untuk menambah norma baru di Pasal 169 huruf d UU Pemilu dapat menimbulkan redundansi atau kelimpahan makna.
Menurut MK, redundansi tersebut menyebabkan pengulangan makna yang ragu-ragu, yang dapat mempersempit cakupan standar dasar yang disebutkan dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu tersebut.
Selain itu, MK menyatakan bahwa pasal tersebut sebenarnya mencakup semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksudkan oleh pemohon dalam petitum permohonannya.
Oleh karena itu, MK menolak permohonan para pemohon mengenai Pasal 169 huruf d UU Pemilu.
"Pokok permohonan para pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf d UU Nomor 7 Tahun 2017 adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar Anwar.
Hakim Suhartoyo, seorang hakim konstitusi, memiliki pendapat berbeda atas putusan tersebut.***