Sistem Zonasi PPDB Tak Berjalan Semestinya Malah Berbuah Praktik Manipulasi

12 Agustus 2023, 13:40 WIB
Presiden Joko Widodo (Jokowi) /Jurnal Soreang /Dok. Setpres

OKE FLORES.com - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menghargai Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempertimbangkan keputusan menghapus kebijakan sistem pemetaan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun depan.

Pertimbangan penghapusan itu dikatakan Presiden Jokowi setelah melakukan pertemuan dengan pimpinan MPR di Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu, 9 Agustus 2023, dan kembali disampaikan pada Kamis, 10 Agustus 2023 ketika ditanyai media di Stasiun Dukuh Atas, Jakarta.

Furqan AMC, selaku Ketua DPP PSI mengatakan, walaupun tujuan awal sistem pemetaan PPDB ini mulia, di antaranya pemerataan akses pendidikan dan menghilangkan klasifikasi sekolah favorit dan tidak favorit, tapi dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah.

Baca Juga: Bak Gula yang Dikerubungi Semut Kaesang Terima Tawaran dari Berbagai Partai Termasuk PKB

"Apabila kita cermati lebih komprehensif, sesungguhnya berbagai masalah penerapan sistem zonasi PPDB tersebut adalah hilir persoalan. Adapun hulu persoalannya adalah jumlah sekolah yang tidak memadai," ucap Furqan dalam keterangan tertulisnya dilansir Pikiran-Rakyat.com Sabtu 12 Agustus 2023.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara jumlah sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Pada tahun ajaran 2021/2022, terdapat sebanyak 148.992 SD di seluruh Indonesia, sedangkan jumlah SMP hanya sebanyak 41.402 unit.

"Sudah otomatis banyak Calon Peserta Didik Baru (CPDB) yang terdiskriminasi, di mana siswa lulusan SD pada akhirnya banyak yang tidak tertampung masuk SMP," tuturnya Furqan.

"Sementara itu jumlah SMP negerinya cuma 57,48 persen, sehingga ketika diterapkan sistem zonasi PPDB, akan semakin menimbulkan persaingan yang gak ketulungan. Fenomena kemacetan leher botol (bottleneck) tak terhindarkan. Pada akhirnya memicu banyak dosa besar pada sistem zonasi PPDB. Berbagai modus dan manipulasi terjadi di mana-mana di berbagai kota," ucapnya.

Keadaan yang hampir serupa juga terjadi di sekolah menengah atas. Jumlah sekolah menengah atas di seluruh Indonesia hanya 14.007 unit pada tahun pelajaran yang sama. Itupun hanya 49,58 persen sekolah menengah atas yang negeri.

Jika mengambil contoh di Jakarta, data Dinas Pendidikan DKI menunjukkan kapasitas sekolah menengah atas hanya 28 ribu tempat duduk. Sedangkan jumlah calon peserta didik baru mencapai 139 ribu siswa.

Baca Juga: Ratusan Warga Karawang Terindikasi Konsumsi Obat Keras, Begini Konologinya!

"Daya tampung yang tidak memadai tersebut sudah pasti memicu banyak masalah pada saat zonasi PPDB diterapkan," ucal Furqan.

Situasi yang hampir serupa dengan SMP di DKI, di mana kapasitasnya hanya 71 ribu kursi, sementara perkiraan jumlah siswa baru mencapai 149 ribu. Untuk keadaan daerah, Furqan mengambil contoh yang terjadi di Kabupaten Subang.

Di sana, ditemukan satu kampung yaitu kampung Manggala Mulya, Kecamatan Kalijati yang siswa lulusan SMP-nya tidak dapat melanjutkan ke SMA negeri karena tidak ada sekolah itu di kampung mereka. Sementara SMA negeri terdekat berada di luar zona.

Diduga peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di Subang, melainkan juga terjadi di berbagai wilayah di seluruh negara, terutama di daerah yang terpencil.

"Jadi akar masalahnya adalah jumlah sekolah negeri yang minim, sehingga penerapan sistem zonasi menjadi tidak efektif. Alih-alih jadi solusi pemerataan, malah semakin mendiskriminasi dan menimbulkan banyak masalah baru," kata Furqan.

Menurutnya, jawaban dari permasalahan tersebut adalah peningkatan kecepatan pembangunan sekolah pemerintah baru di seluruh Indonesia, khususnya untuk SMP dan SMA.

"Sungguh sangat disayangkan selama ini laju pembangunan infrastruktur sekolah negeri sangat rendah," ujarnya.

Berdasarkan data BPS, selama 5 tahun terakhir jumlah SMA negeri hanya bertambah 255 unit di seluruh Indonesia.

Di sisi lain, banyak gubernur yang belum pernah membangun SMA negeri baru selama menjabat. Provinsi Jawa Timur, selama dipimpin Khofifah Indar Parawansa, belum satupun membangun SMA negeri baru. Dari awal pelantikan Khofifah, jumlah SMA negeri di Jawa Timur tetap di angka 423 unit.

Kondisi serupa terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang dipimpin Gubernur Hamengkubuwono X. Jumlah SMA negeri di DIY tetap di angka 69 unit selama 5 tahun terakhir.

Sementara di Provinsi Jawa Tengah, Gubernur Ganjar Pranowo hanya membangun satu SMA negeri baru dalam 5 tahun terakhir. Total SMA negeri di Jawa Tengah pada tahun ajaran 2022/2023 sejumlah 361 unit. Jumlah tersebut malah berkurang satu unit dibandingkan akhir masa pemerintahan Ganjar Pranowo saat periode pertama, yakni 362 unit.

Baca Juga: Memiliki Elektabilitas Politik yang Rendah Hambatan Susi Pudjiastuti Menjadi Cawapres

Di Provinsi Jawa Barat, awal Ridwan Kamil dilantik jadi Gubernur jumlah SMA negeri mencapai 495 unit. Di akhir masa pemerintahannya pada 2023, total SMA ada 514 unit. Terdapat penambahan 19 unit SMA negeri baru semasa pemerintahan Ridwan Kamil.

Adapun di Banten, saat masa pemerintahan Gubernur Wahidin Halim pada 2017-2022 hanya terbangun empat SMA negeri baru. Adapun di DKI Jakarta pada akhir pemerintahan Anis Baswedan, jumlah SMA negeri 117 unit. Padahal tahun ajaran 2017-2018, jumlah SMA negeri di DKI Jakarta ada 124 unit. Jadi, berkurang 7 unit.

Provinsi-provinsi di luar Jawa pun kondisinya tak jauh berbeda. Di Sulawesi Selatan, jumlah SMA negeri tetap di angka 335 Unit selama 5 tahun terakhir. Di Kalimantan Tengah dan Aceh sekarang malah berkurang

"Adapun total untuk keseluruhan jumlah sekolah negeri baik SD, SMP, SMA & SMK yang dibangun tahun 2022 di seluruh Indonesia hanya 208 unit," ujar Furqan.***

Editor: Adrianus T. Jaya

Sumber: Pikiranrakyat.com

Tags

Terkini

Terpopuler